Mengenai Saya

Foto saya
Menyukai Olah Raga, Musik, Membaca, Mendongeng, Cerita,................

Selasa, 09 Agustus 2011

PANORAMA ILMU

10 Agustus 2011
Etika Bisnis
Sebelum menyebutkan Etika Wirausaha, sebaiknya kita menjelaskan terlebih dahulu pengertian tentang etika. Etika itu apa? Etika adalah prinsip- prinsip yang mensistematisasi masalah tindakan moral yang betul dan berisi ketentuan-ketentuan serta nilai-nilai yang dapat digunakan di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kehidupan bidang usaha atau dunia bisnis, seorang Wirausaha tidak berdiam diri sendiri, tetapi sangat perlu bantuan para Wirausaha lainnya, adanya bantuan dari pihak pemerintah atau badan-badan usaha terkait lainnya.

Oleh karena itu, seorang Wirausaha harus menunjukan tingkah laku yang baik, sopan santun, tolong-menolong, tenggang rasa, hormat-menghormati satu sama lainnya. Masalah sopan santun, hormat- menghormati, tolong-menolong,dan tatakrama di dalam berwirausaha sehari-hari itu adalah merupakan etika.

Jika kata etika digabungkan dengan Wirausaha akan menjadi Etika Wirausaha. Dengan demikian Etika Wirausaha itu adalah prinsip-prinsip atau pandangan-pandangan dalam kegiatan bidang wirausaha dengan segala persoalannya untuk mencapai suatu tujuan serta melaksanakan nilai-nilai yang bermanfaat untuk meningkatkan kehidupan usaha sehari-hari.

Kali ini Bima akan membahas lebih lanjut mengenai macam-macam etika yang perlu dimiliki seorang wirausahawan dalam menjalankan usahanya,serta hal-hal yang perlu dilakukan untuk menjaga standar etika itu sendiri.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
1. Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut, walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.


8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat. Saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu demi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
B. Konsumerisme
Konsumerisme adalah gerakan protes dari para konsumen atau masyarakat, karena perlakuan para pengusaha/wirausaha yang kurang baik dalam melayani konsumen. Artinya bahwa konsumerisme ialah suatu tindakan dari individu atau organisasi konsumen, lembaga pemerintah dan perusahaan sebagai jawaban ketidakpuasan yang diterima dalam hubungan dengan jual beli

Hak – hak konsumen :
1. Hak untuk memilih, jangan hanya ditawarkan komoditi satu jenis saja, tanpa ada pilihan
2. Konsumen berhak memperoleh informasi dari produsen, terhadap barang yang akan dibeli, baik mengenai bahan, cara pemakaian, daya tahan, dsb.
3. Jika ada keluhan konsumen, harus didengar. Jika ada tuntutan konsumen harus segera diperhatikan oleh produsen
4. Apabila konsumen menggunakan produk, harus dijaga keselamatan konsumen, jangan sampai barang yang telah dibeli membahayakan konsumen terutama dalam hal mainan anak – anak , atau obat.
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.
Jika ungkapan Descartes “Aku berpikir, maka aku ada!” menjadi kebanggan dan wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang dominan adalah, “Aku berbelanja, maka aku ada!” Sebuah peneguhan eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar membentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi.
Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang, namun sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme pasar untuk terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan cara-cara persuasif, kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa henti. Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun lebih pada ingin (want).
Produksi tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya usaha memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan berlebih maka ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda. Pertukaran barang ini kemudian memunculkan pasar, dan barang tersebut berubah nilainya menjadi komoditas. Karl Marx melihat hal tersebut sebagai perubahan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value).
Dari gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan hanya persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan menjamur. Konsumsi merupakan perilaku primitif manusia. Bahkan, menurut Plato, terbentuknya masyarakat merupakan akibat manusia tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Yang nampak berbeda adalah intensifikasi dan perluasan jaringan pemasaran yang lebih kompleks. Munculnya pusat perbelanjaan dalam bentuk yang lebih “baru”, membuat konsumsi menjadi sebentuk candu.
Tentu saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja. Perubahan pola dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan infrastruktur masyarakat. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan meletusnya Revolusi Industri, mengkonsumsi menjadi niscaya setelah produksi. Produksi barang secara massal meniscayakan proses produksi mengalami percepatan. Begitu pula usaha untuk menghabiskan dan menggunakan barang. Zaman ini memunculkan masyarakat baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat inilah yang menjadi pengguna barang yang dihasilkan oleh produksi massal tersebut.
Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola perilaku mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh Haryanto Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di sekitarnya. Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi konsumsi, dan periode posmodernis.
Teori konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme dengan berbagai implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan bila Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebutuhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada subordinat produksi, di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat.
Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya menghabiskan barang konsumsi sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun, pada investasi dan kerja keras. Weber tampak ingin semakin memperjelas dan memperkokoh kapitalisme dengan bentuk investasi kembali keuntungan produksi. Meskipun masyarakat kental dengan semangat Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai sadar akan kesenangan berkat kemajuan industri.
Tokoh berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi pertukaran, terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi. Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang konsumsi. Puncak imajinasi itu bergantung dan berperan pada munculnya masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006: 55). Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan menimbulkan budaya baru masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society) menjadi budaya konsumen (consumer culture).
Kemudian muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang menurut buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi. Bourdieu menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi.
Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya pusat perbelanjaan (super)modern, kapitalisme neoliberal, dan pasar bebas. Kajian terhadap konsumsi masyarakat posmodern oleh buku ini diwakili dua tokoh posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean Baudrillard.
Berbeda dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan Featherstone, di mana konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru posmodernitas menurut Baudrillard megaburkan kelas dan status sosial. Bahkan Baudrillard menyatakan era posmodern sebagai “matinya yang social”, kematian masyarakat. Siapa pun yang mampu bisa merayakan konsumsi tanpa memandang kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan identitas tertentu tanpa memandang batas-batas sosial.
Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup.
Tokoh selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme.
Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme.
Kajian tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat ini. Sigfikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju pada budaya komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian ini dimulai dari tokoh klasik, tokoh sosiologi konsumsi, dan teori posmodern dengan konteks sosial masing-masing zaman mereka. Kajian keilmuan sosiologi dalam masyarakat konsumsi jelas akan senantiasa penting di masa yang akan datang.
D. KESIMPULAN
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.

Purworejo, 10 Agustus 2011
RADIO FORTUNA FM


BIMA

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alma, B. (2005). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Bandung: CV Alfabeta.
Alma, B. (2001). Kewirausahaan untuk mahasiswa dan umum. Bandung: CV Alfabeta
Alma, B. dan Priansa,DJ. (2009). Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: CV Alfabeta.
Alma, B. (2006). Pengantar Bisnis.Bandung: CV Alfabeta.
Daniri, (2008). Standarisasi Tanggung Jawab Sosial di Perusahaan. [Online]. Tersedia: http://www.madani-ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-bag-i/.[8 Agustus 2009]
(2008). Budaya Konsumerisme. [Online]. Tersedia: http://education.feedfury.com/content/19423840budaya_konsumerisme.html. [7 Agustus 2009].

Tidak ada komentar: